The Cursed Charm - Indonesian version


BAB 1
Aku melihat keluar jendela dimana langit kembali bercahaya dari hujan salju dari kursiku.Semua teman sekelasku tersenyum kepada matahari.Suhu musim dingin saat itu membuat seluruh tubuhku terasa membeku.Aku bisa merasakan dinginnya tanganku di pipiku.Perlahan-lahan, matahari menyinari wajahku.Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan dari matahari.
Namaku Charlotte. Saat itu aku berumur 15 tahun; pendiam, tidak banyak berbicara.Aku tidak memiliki seorang teman.Aku tidak seperti perempuan kebanyakan, jalan-jalan, belanja, ataupun mempunyai seorang pacar. Saat itu aku berpikir aku akan bahagia dengan kesepianku, tetapi belakangan itu aku mulai menyadarinya. Semua orang membutuhan orang lain.
Lalu, aku mendengar bel berdering, dari sebuah lonceng besar tua. Pikiranku terarah kepada pelajaran apa sekarang. Ternyata kimia. Aku suka kimia, tetapi saat itu aku sedang tidak mood. Jadi, mungkin aku hanya mendengarkan kepada Pak Bolson, guru kimia, tetapi tidak mengerti apa yang ia maksud. Aku mengangkat tasku dari gantungan tepat di sebelah mejaku ke pangkuanku dan mencari buku kimia dan buku tulisku.
Tasnya sangat berat.
Setelah aku menemukannya, secepatnya aku berlari menuju laboratorium dimana pelajaran dimulai.Sebelum aku meninggalkan kelas, aku mengeluarkan jimat keberuntunganku.Itu adalah sebuah kunci.Moodku membaik.Lalu, aku kembali memasukannya ke tempat asalnya.
Pak Bolson adalah guru kimia yang masih muda, hanya 22 tahun.Semua murid terinspirasi oleh kepintarannya.Aku mendengar beberapa gosip bahwa beberapa murid perempuan mengidolakannya tidak sebagai seorang guru.
Setiba di depan pintu ruang laboratorium, aku mengeserkan pintu geser dan aku melihat Pak Bolson sedang berdiri di depan murid-muridnya dimana mereka semua duduk. Kursi yang tersisa untukku hanya tepat di depan Pak Bolson, di barisan pertama dan di tengah-tengah. Sebelumnya aku berharap aku mengabil kursi yang lebih jauh di ruang laboratorium.Dengan berat, aku berjalan menuju kursi terakhir dengan kerut wajah kesal.
“Michelle, ada apa dengan kerut wajah itu?” ia memulai pembiicaraan.
Aku tidak menjawabnya.Aku meletakkan kepalaku yang berat di atas meja depanku. Aku sedang tidak ingin melihatnya,
Dia berheti menatapku dan kembali kepada murid-muridnya.“Baiklah anak-anak, kita mulai pelajaran kita!”
Semuanya selalu bersemangat pada setiap pelajarannya.Dia adalah guru yang baik dan guru yang pintar dalam mengajar.Semua berteriak, tertawa, sepertinya mereka sedang menikmatinya.Aku hanya terdiam hingga bel berbunyi untuk mengakhiri pelajarannya.
“Maaf anak-anak, Waktunya sudah habis,” ia menutup pelajarannya.
“Benarkah?” mereka terdengar sedih, tetapi mau bagaimana lagi.Mereka membereskan barang-barang mereka dan meninggalkan ruang laboratorium. Aku mendengar sesuatu dari salah satu dari mereka kalau mereka akan melakukan sesuatu sepulang sekolah.
Kepalaku masih menempel diatas meja. Aku terlalu lemah untuk melakukan apapun dan musim dingin membuatku tambah malas untuk bangun.
“Apakah ada yang menggangumu hingga seperti ini?” Pak Bolson masih berada di dalam bersamaku. Aku dapat mendengar bunyi-bunyi gelas kaca yang saling bertabrakan.
“Tinggalkan aku sendiri,” kataku dengan kasar. itu sudah menjadi kebiasaanku bebicara dengannya dengan santai, dan ia tidak masalah dengan itu. “Ini bukan masalahmu juga.”
“Memang, tetapi mungkin aku dapat membantumu,” katanya dari kejauhan. “Kamu tidak dapat menyelesaikan semua masalah sendirian. Kamu harus membaginya kepada orang yang kamu percaya.”
Tiba-tiba, hidungku terasa panas hingga aku tidak dapat merasakan dinginnya musim itu dan air mataku bergelimang di pipku. “Hik…hik…” aku melepaskan kacamataku dan berusaha menghapusnya.
“Tidak apa-apa,” dia duduk di sampingku sambil menepuk-nepuk kepalaku dengan lembut. Aku tidak tahu bahwa Pak Bolson juga pendengar yang baik. Aku merasa sedikit bahagia bahwa aku memiliki ‘teman’ baik seperti dia. Dia menungguku hingga aku tenang. “Merasa lebih baik?”
“iya…,” aku mengelap bekas tangisanku yang sudah kering. Aku membereskan barang-barangku di atas meja dan berkata kepadanya, “Terima kasih, Pak Bolson.” Aku meninggalkannya dan kembali ke kelasku untuk membawa barang-barang yang aku tinggal disana. Setibanya, kelas sangat sepi. Tidak ada siapa-siapa, hingga tasku! Aku berlari mengelilingi kelas untuk mencari tasku. Pikiranku dipenuhi oleh ketakutan, lebih lagi jika jimat berhargaku hilang untuk selamanya. Aku memakai jaketku dan selendangku mengelilingi leher pendekku sambil menge-check tiap meja.
“Hei, kutu buku!” panggil seseorang dari depan pintu. Karena karakteristikku yang tidak banyak berbicara dan kebanyakan waktu aku menghabiskannya dengan membaca buku, aku dipanggil dengan ‘kutu buku’. Perempuan itu pernah menjahili aku sebelumya. “Apakah ini yang kamu cari?” dia pun lari dari pandanganku.
“Tunggu!” aku mengejarnya ke lorong. “Kembalikan tasku!”
“Tidak akan hingga kau mengejarku!” dia mengangkat tasku sambil menjaga keseimbangannya.
Akku dapat mendengar terengih-engihku dan perlahan-lahan semakin lama semakin besar. Udara membekukan pergellangan kakiku. Aku tidak dapat merasakan kakiku lagi dan aku baru menyadari kalau lariku menjadi melambat dan melambat. Jarakku dengannya menjadi jauh. Aku berhenti berlari untuk mengambil nafas.

                Aku tidak dapat membalapnya,aku terlalu lambat di bandingkan dengannya.

Dari kejauhan, aku melihat seseorang datang dari sisi lorong kiri dan menabrak perempuan nakal itu. perempuan nakal itu jatuh terpingkal, sedangkan yang satunya tidak.
Aku memerhatikan mereka baik-baik.
“Auu, sakit,” dia mengelus-elus belakangnya sambil berusaha bangun. “Hei, perhatikan kemana kamu…” dia mengecilkan suaranya. Dia terlihat terkejut kepada siapa yang ia tabrak.
Orang itu adalah Sienna, perempuan tomboy, menurutku. Sienna mengikat rambut lurus panjangnya menjadi ekor kuda. Seragamnya tidak rapi. Dia melepaskan dua kancing kemejanya dari atas dan semua kancing jaketnya. Dia terlihat keren seperti biasanya ketika ia melepaskan kancingnya.
“Si-Sienna, apa yang kau lakukan disini?” perempuan nakal itu terdengar ketakutan kepadanya.
“Apakah itu mengganggumu?” dia mengibas-kibaskan jaketnya dengan kedua tangannya di dalam kantung jaketnya.
“T-tidak sama sekali,” dia menolaknya dengan melambai-lambaikan kedua tangannya di depan dadanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak melepaskan tasku dari tangannya.
Sebelumnya aku berharap saat ia sibuk dengan Sienna, dia melepaskan tasnya di lantai. Itu akan memudahkanku untuk mengambilnya kembali.
“Jika tidak, sampai jumpa,” Sienna meninggalkannya di belakangnya dan melanjutkan ke tujuannya. Beberapa langkah darinya, dia akhirnya menyadariku.
Setelah mata kami bertemu, aku membuang pandanganku dan kembali berurusan dengan perempuan nakal itu.  “Kembalikan tasku!” aku berteriak kepada perempuan itu. setelah ia teringat dengan masalah kami, dia kembali berlari.

                Aku tidak akan melepaskanmu lagi!

Tiba-tiba, aku melihat seseorang berlari disampingku dan membalapku. Aku sangat terkejut, itu adalah Sienna. Larian Sienna seperti angin yang akan pergi ke segala arah, tidak ada yang dapat menghentikannya. Dia mengecapainya dan menghentikannya di depan.
Perempuan nakal itu berusaha berhenti tetapi ia berakhir menabraknya lagi dan terjatuh. “Auu!” dia mengosok kepalanya.
“Berikan tasnya kepadaku…,” kata Sianna dengan senyum licik.
“Ini,” perempuan itu memberikan ta situ kepadanya dengan senyuman. Setelah Sienna mengambilnya, perempuan nakal itu pun lari terbirit-birit. “Aku akan menangkapmu suatu saat nanti, kutu buku!”
“Jangan perdulikan itu,” Sienna berbicara kepadaku untuk pertama kalinya. “Dia tidak pernah benar-benar melakukukannya jika ia bilang begitu.” Sienna memberikan tasku kembali. “Jadi, namamu siapa?”
Cepat-cepat aku membuka risleting tasku dan mencari jimatku. “Charlotte…,” kataku sambil mengobrak-abrik tasnya. Untung saja jimat itu masih ada di dalam. “Syukurlah…” aku menghela napas lega.
“Sebuah… kunci?” dia tidak memercayainya kalau sebuah kunci adalah sesuatu yang penting untukku. “Apa untungnya dengan itu?”
“Ini adalah sebuah jimat,” kataku. Aku terus tersenyum kepada jimatku.
“Ya, sebuah ‘jimat’,” jari-jarinya bergerak membentuk tanda kutip. Aku tidak memerhatikan dirinya, tetapi aku tahu apa yang ia lakukan.
“ Ya, jimat ini diberikan kepadaku dari orangtuaku sebelum mereka meninggal,” kataku dengan santai.
“Maaf,” dia meminta maaf. Aku tidak mengerti maksud untuk apa ‘maaf’ itu.
“Kenapa?” akhirnya aku menerhatikannya. Wajahnya terkihat terkejut dengan balasanku.
“Karena telah mendengar orang tuamu meninggal?” katanya.
“Oh, ya, makasih, tentu saja, terserah,” kataku tiba-tiba tanpa berpikir.

                Apa yang kamu pikirkan?! Mengatakan seperti itu kepada orang tuamu!

“O-oke…,” wajahnya benar-benar terdapat rautan wajah terkejut. Aku membereskan barag-barangku dengan kasar dan memberikan tanda sampai jumap. “maaf telah menyusahkanmu. Sampai jumpa!” aku meninggalkannya di lorong sendiri.

BERLANJUT…



Komentar

Postingan populer dari blog ini

KIM JONG WOON BECOME SOLDIER